Anggota DPRD Kota Bandung Juniarso Ridwan, Masih Banyak Perda Tidak Diketahui Warga

BANDUNG – Anggota DPRD Kota Bandung Juniarso Ridwan mengatakan, Perda yang sudah disahkan terkadang tidak diketahui oleh warga karena kurangnya sosialisasi dan untuk beberapa hal acapkali tidak dilengkapi Perwal (Peraturan wali kota).

Contoh kurang sosialisasi di antaranya saja Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 5 Tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung Tahun 2022-2042.

Akibat kurangnya sosialisasi, kata Juniarso, berdampak pada banyaknya pelanggaran dan lebih memprihatinkan lagi pelanggaran-pelanggaran tersebut seperti dibiarkan.

“Penegakan peraturan berkaitan dengan pemanfaatan ruang perlu diperhatikan, karena selama ini ketidak tegasan kepada pelanggar terhadap tata ruang dapat disebutkan tidak terkontrolnya alih fungsi ruang maupun bangunan” ujarnya.

Juniarso mengatakan, Perda RTRW ini ternyata belum dilengkapi Perwal, sebagai penjabaran lebih lanjut. Sehingga bagi petugas di lapangan akan mengalami kesulitan untuk menertibkan pelanggaran, karena membutuhkan arahan teknis. Dalam hal ini harus mengacu kemana terkait penindakannya terhadap pelanggaran yang ada di lapangan.

“Bagaimanapun perlu ada pengaturan lebih lanjut melalui peraturan Wali Kota. Nah ini yang bikin bingung petugas di lapangan karena tidak ada pegangan operasional. Saya juga tidak mengerti kenapa Perwal selalu tidak segera dibuat,” ujarnya.

Lebih lanjut, Juniarso mengatakam, tidak adanya Perwal akan menimbulkan masalah karena menindak pelanggaran harus ada dasar hukumnya yang jelas, sebagai turunan atau tindaklanjut dalam lingkup teknis.

Di sisi lain, dalam penetapan tata ruang itu sering juga beririsan dengan pengembangan wilayah. Dalam hal ini apabila terdapat perubahan peruntukan, misalnya yang semula sawah berubah jadi perumahan. Artinya disini terdapat pengembangan wilayah.

Juniarso mengatakan, di dalam RTRW itu ada pengaturan untuk kawasan perumahan sehingga menjadi pegangan para pengembang membuat komplek perumahan di berbagai tempat.

Tetapi realitas yang sulit ditampik, kini banyak rumah tinggal berubah menjadi resto, kafe, penginapan, kantor dan tempat usaha lainnya.

“Pada perkembangannya pengaturan Tata Ruang akhirnya tambah tidak terkendali karena lebih banyak dipengaruhi oleh implikasi kepentingan politik,” ujarnya.

Banyak kebijakan yang sarat dengan ķepentingan politik, misalnya dorongan kebutuhan untuk membangun kantor kelurahan, kecamatan , koramil, Polsek atau kantor pemerintah lainnya di kawasan perumahan , otomatis lambat laun akan tumbuh warung, toko atau bentuk usaha layanan lainnya.

Menurut Juniarso, kecenderungan alih fungsi perumahan terus berlanjut, karena kelemahan dari aparat sendiri sebagai akibat kurang mampu merespon tentang kecenderungan dan mengantisipasi perkembangan yang akan datang.

Dalam RTRW pengaturanti sanksi masih bersifat naratif, masih jauh bagi kepentingan operasional teknis. Penanganan bagi pelanggar, seringkali masih terpaku pada hal-hal yang bersifat kuratif administratif.

Sebagai contoh, apakah izinnya ditinyau atau dibatalkan atau dicabut, rupanya belum pernah terjadi sampai sekarang juga yang diangkat ke publik. Jadi saya menilai, artinya harus ada turunan aturan-aturan dari perda tersebut, dari pasal-pasal yang berkaitan dengan pelanggaran. Jadi harus ada uraian teknis sebagai penjabaran tindak lanjut pengaturannya.

Juniarso berharap kepada pemerintah agar Perda yang sudah dibuat dengan memakan waktu dan biaya cukup besar agar disosialisasikan secara masif, ditindaklanjuti dengan penyusunan Perwal sehingga lebih bernilai operasional.

Dalam konteks kegiatan sosialisasi kewajiban organisasi perangkat daerah jika sudah ditetapkan/disahkan, sedangkan kewajiban DPRD mensosialisasikan ketika sedang dalam pembahasan.