BKKBN: Meski Miskin, Masyarakat Indonesia Ternyata Tetap Bersyukur dan Bahagia

Ilustrasi Bandung (Sumber: Limawaktu.id)

BANDUNG – Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dr Hasto Wardoyo menyebut bahwa masyarakat di Indonesia tetap bahagia meskipun berada di bawah garis kemiskinan.

Pernyataannya itu didasarkan dari hasil pengukuran Indeks Pembangunan Keluarga (iBangga) yang dilaksanakan BKKBN.

Hasto menyampaikan bahwa iBangga mencakup beberapa indikator untuk menilai kondisi keluarga di Indonesia, yaitu ketenteraman, kemandirian, dan kebahagiaan.

Hasilnya, indikator-indikator tersebut menunjukkan bahwa kebahagiaan warga Indonesia memiliki skor tertinggi dengan angka 72. Sementara untuk skor kemandirian ada di angka 51, dan skor ketenangan sekitar adalah antara 56 atau 57.

Berdasarkan data tersebut, Kepala BKKBN menilai bahwa kemandirian masyarakat sebenarnya masih rendah meskipun tingkat kebahagiaan mereka tinggi.

“Mereka miskin namun bahagia. Itulah realitanya. Masih ada rasa syukur. Walaupun miskin, mereka tidak merasa sedih,” kata dr Hasto, dikutip dari Liputan6 pada pada Senin (5/8/2024) malam WIB.

“Sebagai contoh, pasangan suami istri yang resmi memiliki akta nikah atau dokumen terkait, biasanya memiliki skor ketenteraman yang tinggi. Sebaliknya, jika ada istri simpanan, skor ketenteramannya cenderung rendah karena adanya kecemasan dan rasa bersalah yang terus-menerus, sehingga nilai ketenteramannya pun rendah. Skor kita saat ini belum mencapai 60, yang menandakan belum adanya ketenteraman, terutama karena tingginya angka perceraian,” bebernya.

Indikator kedua yaitu kemandirian yang cukup erat kaitannya dengan faktor ekonomi.

“Kemandirian itu terdefinisi dengan angka 52, yang berarti belum mampu memenuhi biaya pendidikan dan biaya makan. Bukankah banyak warga Indonesia yang berada di kelas menengah ke bawah?” terangnya.

Adapun untuk Indikator ketiga iBangga adalah kebahagiaan, yang ditandai dengan kehidupan sosial yang aktif, kerja sama, wisata, rekreasi, komunikasi, dan interaksi.

“Itu yang membuat kita bahagia. Misalnya di kampung, menjaga pos ronda bersama-sama, tertawa lepas, meskipun banyak hutang,” pungkas dr Hasto.