PPN 12% dan Dampaknya pada Masyarakat: Antara Janji Keadilan dan Realitas Sosial

BANDUNG – Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% untuk barang mewah yang akan diberlakukan pemerintah banyak menuai pro dan kontra.

Pemerintah mengklaim bahwa kebijakan ini bersifat selektif dan hanya menyasar barang atau jasa kategori mewah.

Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan di lapangan.

Sebelum kenaikan PPN, barang kebutuhan seperti shampo sachet, misalnya, dengan harga seribu rupiah bisa didapatkan sebanyak empat sachet.

Namun, setelah PPN naik, besar kemungkinan harga yang sama tidak akan memberikan jumlah yang sama. Mengapa demikian?

Salah satu alasannya adalah karena proses produksi dan distribusi barang kebutuhan sehari-hari juga terkena dampak.

Mesin produksi yang mahal dianggap barang mewah, dan pengiriman menggunakan kendaraan, seperti truk atau mobil, juga termasuk kategori barang mewah.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani, hampir semua barang dan jasa terkena PPN 12%, meskipun disebut sebagai barang mewah.

“Secara menyeluruh memang kena 12%, tapi ada beberapa bahan pokok sembako itu yang tidak terkena. Jadi sebenarnya dasarnya semua barangnya akan terkena 12%. Bahwa penamaan itu sebagai barang mewah atau bahan premium itu bisa saja tapi hampir semua itu terkena 12%,” kata Shinta (Detik Finance, 19 Desember 2024).

Artinya, meskipun barang kebutuhan pokok mungkin tidak langsung dikenai PPN, rantai produksi hingga distribusinya terkena imbas kebijakan ini.

Pada akhirnya, konsumen tetap merasakan beban kenaikan harga barang yang seharusnya tidak termasuk kategori barang mewah.

Ketimpangan Sosial yang Mengancam

Tidak hanya itu, kebijakan ini juga berpotensi memperburuk ketimpangan sosial.

Ketika barang-barang mewah menjadi terlalu mahal, konsumen dari kelas ekonomi atas cenderung mengalihkan konsumsi mereka ke barang-barang yang lebih terjangkau, yang sebelumnya hanya dibeli oleh masyarakat kelas menengah dan bawah.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2024, kelompok kelas menengah dan menuju kelas menengah mencakup 66,35% dari total penduduk Indonesia, dengan konsumsi pengeluaran mereka mencapai 81,49% dari total konsumsi masyarakat.

“Kondisi ini tentu akan diperparah dengan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% per 1 Januari 2025, yang diperkirakan akan menambah tekanan pada daya beli masyarakat,” ujar Shinta (Detik Finance, 19 Desember 2024).

Situasi ini dapat menciptakan persaingan baru yang tidak sehat.

Sebagai contoh, jika tiket pesawat menjadi terlalu mahal akibat kenaikan PPN, orang-orang kaya mungkin beralih ke transportasi umum seperti kereta api, bus, atau kapal laut.

Hal ini akan memengaruhi ketersediaan tiket bagi masyarakat kelas menengah dan bawah, yang selama ini menjadi pengguna utama moda transportasi tersebut.

Akibatnya, terjadi perebutan akses yang seharusnya tidak perlu terjadi, dan ketimpangan sosial semakin terlihat.

Dampak pada Sektor Pariwisata dan Ekonomi Lokal

Sektor pariwisata juga tidak luput dari dampak negatif kebijakan ini.

Dengan kenaikan PPN, biaya liburan seperti tiket pesawat dan penginapan semakin mahal.

Akibatnya, masyarakat memilih untuk menahan diri dari berwisata, yang berdampak pada penurunan pendapatan usaha lokal seperti hotel, restoran, dan tempat wisata.

Padahal, sektor ini menjadi salah satu penggerak ekonomi lokal yang penting.

Dilema Minyak Goreng dan Barang Sehari-Hari

Dilema lain muncul ketika bahan pokok tertentu tidak dikenai PPN, tetapi ketersediaannya di pasar menjadi langka.

Jika minyak goreng bersubsidi seperti Minyak Kita sulit didapat, penjual dan konsumen akan beralih ke produk minyak goreng premium seperti Sunco atau Bimoli, yang dikenai PPN.

Hal ini memaksa pedagang menaikkan harga jual, yang berujung pada semakin terbatasnya daya beli masyarakat.

Kesimpulan

Kebijakan PPN 12% memang memiliki tujuan baik, yakni menciptakan keadilan pajak dan meningkatkan penerimaan negara.

Namun, dampak yang tidak langsung, seperti kenaikan biaya produksi dan distribusi, serta pergeseran konsumsi di masyarakat, menunjukkan bahwa implementasi kebijakan ini masih membutuhkan perhatian serius.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa penerapan PPN 12% didasari pada prinsip keadilan dan gotong-royong, di mana kelompok masyarakat mampu akan membayar pajak sesuai kewajiban, sementara masyarakat tidak mampu dilindungi melalui pembebasan PPN pada barang kebutuhan pokok dan jasa dasar.

“Keadilan adalah di mana kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan,” ungkap Menkeu dalam konferensi pers “Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan” (Kementerian Keuangan RI, 16 Desember 2024).

Pemerintah perlu lebih transparan dalam menjelaskan definisi barang mewah dan memastikan bahwa kebijakan ini tidak malah membebani masyarakat kecil.

Selain itu, langkah mitigasi seperti subsidi bagi sektor tertentu dan insentif bagi UMKM harus menjadi prioritas untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin terjadi.

Pemerintah memberikan insentif perpajakan seperti perpanjangan PPh Final 0,5% untuk UMKM, diskon listrik 50%, serta berbagai bantuan sosial untuk melindungi kelompok menengah ke bawah.

“Meskipun ada undang-undang perpajakan dan tarif pajak, namun pemerintah tetap peka untuk mendorong barang, jasa, dan pelaku ekonomi,” ujar Menkeu (Kementerian Keuangan RI, 16 Desember 2024).

Jika tidak, kebijakan ini hanya akan memperbesar kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia.