Tak Hanya Korban, Semua Pihak Harus Berani Laporkan Kasus Perundungan

BANDUNG – Perundungan di tataran pendidikan tengah menjadi sorotan. Beragam upaya telah digencarkan, salah satunya program Roots.

Di Kota Bandung hanya ada tujuh SMP yang dipilih langsung Kemendikbud untuk menjadi sekolah penggerak program Roots pada 2021. Salah satunya SMPN 2 Bandung.

Hal tersebut disampaikan Guru Bimbingan Konseling (BK) SMPN 2 Bandung, Leni Agustini. Ia menjelaskan, Roots melibatkan 30 anak untuk menjadi agen anti perundungan.

“Program ini menciptakan agen perubahan dari siswa sebanyak 30 orang. Siswa yang dipilih adalah anak yang memiliki pengaruh besar untuk teman-temannya, seperti petugas OSIS, berprestasi, atau yang aktif di kelasnya,” jelas Leni.

Tiap Selasa dan Kamis, guru dan para agen Roots melakukan bimbingan teknis. Di puncak kegiatan program ini, diadakan Hari Deklarasi Anti Perundungan.

“Mereka menampilkan beberapa seni kreativitas yang temanya perundungan, baik puisi, nyanyi, drama, dan contoh kasus,” ujarnya.

Menurutnya, perundungan di sekolah berpotensi terjadi. Apalagi di masa PTMT ini pasti gesekan satu sama lain akan semakin terasa.

Namun, para guru terutama guru BK harus terus memberikan penguatan untuk siswa. Tiap minggu diadakan sesi konsultasi 1 jam per anak.

“Ada guru BK 4 orang di sini memegang 32 kelas. Kami selalu menyampaikan, jika ada siswa yang menjadi korban harus mau speak up, berani bicara,” ungkap.

Baginya, “speak up” ini bukan hanya dilakukan oleh korban. Namun, bagi saksi atau pihak yang mengetahui tindakan perundungan yang terjadi harus berani bersuara juga.

“Karena dampak perundungan itu sangat luar biasa. Bahkan dampak paling parah ketika sudah tidak nyaman di sekolah dan ingin pindah,” tuturnya.

Ia memaparkan, biasanya saat anak melakukan bullying, guru akan mencari informasi dari korban terlebih dahulu. Setelah itu baru menggali informasi dari terduga pelaku.

Pihak sekolah juga kerap mempertemukan kedua belah pihak untuk menyelesaikan permasalahan bersama.

“Sebab, kadang korban juga merasa ada kesalahan yang ia perbuat sehingga pelaku bertindak seperti itu kepadanya. Kalau sudah punya ketakutan untuk masuk sekolah, ini yang akan kami treat,” katanya.

Salah satu upaya preventif SMPN 2 Bandung adalah dengan memotong poin siswa yang melanggar peraturan.

Setiap siswa mendapatkan modal 100 poin. Jika ada yang melakukan pelanggaran, maka poin dikurangi.

“Kalau di bawah 60 poin, siswa tidak bisa mengikuti Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester. Harus menambah poin dengan melakukan beberapa kegiatan,” ucapnya.

Beberapa cara untuk menambah poin seperti setor ayat Alquran, hafalan UUD 1945, dan membersihkan masjid.

“Tapi itu juga kesepakatan dari anak. Mereka yang memilih sendiri ingin meningkatkan poin dengan cara apa,” paparnya.

Salah satu agen Roots tahun lalu adalah Arundaya Biancha Nitisara, kelas 9G. Ia juga merupakan Wakil Ketua Osis periode 2021-2022.

Selama tiga bulan ia dan rekan-rekannya dibimbing untuk memahami dan menyosialisasikan anti perundungan.

“Dua kali dalam seminggu dapat bintek. Dikasih penjelasan mengenai contoh dan dampak perundungan,” sebut Arun.

Pada acara puncaknya Arun menampilkan karya puisi untuk mengajak teman-temannya melawan bullying. Ia mengaku, dengan adanya program Roots, bullying di sekitarnya menjadi berkurang.

“Berkurang. Dulu ada kakak kelas yang sering melabrak adek kelas. Dengan adanya Roots ini bisa menyadarkan dia dan teman-temannya,” akunya.

Menurutnya, cara yang efektif dalam mengingatkan perkara perundungan antar teman sebaya dengan pembawaan yang santai.

“Saat kita mengajak teman untuk menolak bullying itu tidak bisa dengan cara halus atau menasehati. Paling masuk itu kalau kita lebih seru mengajaknya, jadi lebih bersahabat. Biar tidak terkesan menggurui soalnya kan kita sepantar,” imbuhnya.