Cerita Perlawanan Warga Dago Elos Melawan Muller Bersaudara

Photo / Dokumen Pribadi

Bandung – Cerita sengketa lahan di Dago Elos, Bandung, yang melibatkan keluarga Muller bersaudara, dimulai pada tahun 2016. Keluarga Muller—terdiri dari Heri Hermawan Muller, Dodi Rustandi Muller, dan Pipin Supendi Muller—mengklaim bahwa tanah yang telah lama ditempati warga Dago Elos adalah milik leluhur mereka. Mereka mengaku sebagai keturunan Georgius Hendrikus Wilhelmus Muller, yang menurut klaim mereka, merupakan kerabat dari Ratu Wilhelmina dari Belanda yang pernah bertugas di Indonesia.

Lahan yang disengketakan ini berada di utara Jalan Terusan Ir. H. Djuanda, yang merupakan jalur penghubung strategis dari pusat Kota Bandung menuju Lembang. Klaim keluarga Muller ini didasarkan pada sertifikat tanah zaman kolonial Belanda atau Eigendom Verponding, yang mencakup lahan seluas 6,3 hektare terbagi dalam tiga sertifikat berbeda.

Menurut Undang-Undang Pokok Agraria 1960, klaim hak tanah yang didasarkan pada warisan kolonial bisa dikonversi menjadi hak milik. Namun, tim advokasi warga Dago Elos menyatakan bahwa tenggat waktu untuk konversi hak tersebut sudah berakhir pada tahun 1980. Meskipun begitu, Muller bersaudara tetap melanjutkan perjuangan hukum mereka. Mereka menggugat warga Dago Elos melalui Pengadilan Negeri Bandung pada 2017, yang kemudian berlanjut hingga ke Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Namun, pada 2019, kasasi yang diajukan oleh Muller bersaudara ditolak, dan pengadilan menyatakan bahwa tenggat waktu konversi tanah Eigendom Verponding telah lewat.

Tak menyerah, keluarga Muller kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada 2022. Mengejutkan, PK ini justru memenangkan Muller bersaudara, yang membuat warga Dago Elos kembali dihadapkan pada ancaman pengusiran. Putusan ini dirasa janggal oleh banyak pihak, termasuk LBH Bandung yang menilai adanya ketidakkonsistenan antara putusan kasasi dan PK. LBH menganggap keputusan PK tersebut sangat berbeda dari putusan sebelumnya yang tidak tegas menolak klaim keluarga Muller.

Warga Dago Elos pun tak tinggal diam. Mereka melaporkan dugaan pemberian keterangan palsu oleh Muller bersaudara terkait klaim mereka sebagai keturunan Muller dan kerabat Ratu Wilhelmina. Warga yakin bahwa keterangan yang disampaikan di hadapan pengadilan, mulai dari Pengadilan Agama Cimahi hingga Mahkamah Agung, tidak benar. Laporan ini kemudian diteruskan ke Polrestabes Bandung dan diambil alih oleh Polda Jawa Barat.

Setelah melalui proses penyelidikan, pada Agustus 2023, Polda Jawa Barat menetapkan Heri Hermawan Muller dan Dodi Rustandi Muller sebagai tersangka. Mereka diduga melakukan pemalsuan surat dan memberikan keterangan palsu terkait hak waris lahan di Dago Elos. Penetapan tersangka ini disampaikan oleh Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Jules Abraham Abast, yang menegaskan bahwa penyidik telah menemukan cukup bukti untuk menaikkan status keduanya dari saksi menjadi tersangka.

Bagi warga Dago Elos, penetapan tersangka ini menjadi titik penting dalam perjuangan mereka. Angga Sulistia Putra, yang mewakili warga, menegaskan bahwa mereka akan terus mengawal proses hukum ini hingga tuntas. Mereka juga berharap bisa mendapatkan keadilan yang selama ini mereka perjuangkan di pengadilan.

Hari itu, ruang sidang Pengadilan Negeri Bandung dipenuhi oleh ketegangan yang memuncak. Warga Dago Elos, yang sejak pagi telah berkumpul, menanti dengan penuh harap. Di tengah desakan dan kepadatan, sebagian besar dari mereka duduk dengan tangan menggenggam erat, berdoa dalam diam. Di luar, spanduk-spanduk solidaritas membentang, mengingatkan siapa saja yang melihatnya bahwa ini bukan sekadar persidangan, melainkan sebuah perjuangan panjang demi tanah yang menjadi bagian dari hidup mereka.

Di barisan depan, dua terdakwa, Herry Hermawan Muller dan Dodi Rustandi, duduk tenang. Wajah mereka tampak tegang, tapi seakan sudah siap menerima apa pun keputusan yang akan dijatuhkan oleh Majelis Hakim. Hari itu, 14 Oktober 2024, adalah babak terakhir dari sengketa tanah yang telah menguras emosi dan energi begitu banyak pihak. Persidangan yang sejak awal dipenuhi dengan protes, aksi solidaritas, dan perdebatan sengit, akhirnya mencapai puncaknya.

Ketua Majelis Hakim, Syarif, menghela napas sebelum membuka naskah putusan. Hening menyelimuti ruangan. Saat kalimat pertama keluar dari mulutnya, semua yang hadir menahan napas. “Menjatuhkan pidana kepada para terdakwa masing-masing dengan hukuman tiga tahun dan enam bulan kurungan.” Suaranya terdengar jelas dan tegas, menembus ruang yang tiba-tiba terasa begitu hening.

Warga Dago Elos yang hadir seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Mata-mata berkaca-kaca mulai tampak. Beberapa bahkan tidak bisa menahan tangis. Gustini, salah satu warga yang sejak awal memperjuangkan hak tanah mereka, terlihat bersujud syukur. “Puas, alhamdulillah, ya Allah,” ucapnya dengan suara bergetar. Ini adalah kemenangan besar bagi mereka, meski perjalanan belum selesai.

Syarif menjelaskan dalam putusannya, Herry dan Dodi terbukti melakukan pemalsuan dokumen dan akta otentik terkait sengketa lahan di Dago Elos. Akta yang mereka gunakan tidak sesuai dengan kenyataan dan diduga sengaja digunakan untuk menguntungkan diri sendiri, sekaligus merugikan pihak lain. Namun, hakim juga mempertimbangkan fakta bahwa keduanya belum pernah dihukum dan bersikap sopan selama persidangan, yang membuat hukuman lebih ringan dari tuntutan awal Jaksa Penuntut Umum, yang meminta lima tahun enam bulan penjara.

Di luar ruang sidang, aksi solidaritas warga Dago Elos masih terus berlangsung. Spanduk besar bertuliskan “Tanah untuk Rakyat” dan “Mafia Tanah Harus Habis” tergantung di dinding-dinding pengadilan, menjadi simbol perlawanan mereka terhadap kekuatan-kekuatan besar yang mencoba merampas hak mereka. Selama bertahun-tahun, warga Dago Elos berjuang untuk mempertahankan tanah mereka dari cengkeraman para mafia tanah. Dan hari ini, kemenangan ini menjadi harapan baru bagi mereka, bahwa keadilan masih ada.

Meskipun keputusan ini belum sepenuhnya menutup bab sengketa tanah Dago Elos, warga percaya bahwa ini adalah awal dari perubahan. “Semoga ke depan tidak ada lagi mafia tanah,” ucap Gustini dengan penuh harap. Bagi mereka, vonis ini bukan hanya tentang hukuman bagi dua terdakwa, tetapi tentang janji bahwa tanah yang telah menjadi bagian dari hidup mereka tetap berada di tangan yang benar.

Persidangan ditutup, tetapi cerita perjuangan warga Dago Elos terus berlanjut. Mereka keluar dari ruang sidang dengan kepala tegak, siap menghadapi babak baru dari perjalanan panjang ini. Kemenangan kecil ini membawa harapan besar bahwa tanah mereka, rumah mereka, akan tetap menjadi milik mereka, selamanya.

Penulis sangat mengapresiasi dan berbahagia atas kemenangan serta perjuangan warga Dago Elos. Penulis juga bersyukur dan berharap apa yang diperjuangkan oleh warga Dago Elos membuahkan hasil yang baik, terutama karena perampasan rumah mereka adalah sebuah tindakan kejahatan.

 

Sumber Informasi : Bandung Bergerak, CNN, dan Tempo.