Respons PT Masterindo Jaya Abadi Soal Isu PHK Ribuan Karyawannya dan Berperkara di Pengadilan

BANDUNG – PT. Masterindo Jaya Abadi menegaskan tak pernah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 1.142 karyawannya sebagaimana dikatakan Ketua DPD KSPSI Jabar, Roy Junto. Kuasa Hukum PT. Masterindo Jaya Abadi, Pranjani HL. Radja pun memberi penjelasan soal awal mula kasus hingga berperkara di pengadilan.

Menurut Radja, perkara tersebut bermula ketika ribuan karyawan secara tiba-tiba memohon di-PHK dengan menyerahkan kuasa ke serikat buruh dan melayangkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Pengadilan Negeri (PN) Bandung pada bulan Januari 2021 lalu.

Gugatan yang dilayangkan itu akhirnya dimenangkan para karyawan yang ditindaklanjuti pengajuan kasasi oleh pihak perusahaan ke Mahkamah Agung (MA). Lalu, sekitar bulan Desember 2021 keluar putusan dari MA yang menggugurkan putusan di PHI.

“Klarifikasi atas informasi yang sedang beredar di Kota Bandung Jabar, perlu diketahui bahwa tidak pernah sama sekali perusahaan kita melakukan PHK kepada 1.142 orang seperti yang disampaikan,” kata dia ketika dikonfirmasi pada Senin (3/10).

“Putusan kasasi Mahkamah Agung yang putusannya jelas yaitu membatalkan putusan PHI tingkat pertama bahwa putus hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan itu tidak ada, karena gugatan mereka itu prematur,” lanjut dia.

Setelah keluar putusan dari PHI, sambung Radja, ribuan karyawan tersebut kembali melayangkan gugatan ke PN Bandung pada bulan Maret 2022 dengan inti perkara yang sama yakni memohon untuk dilakukan PHK. Menurut dia, permohonan itu muncul usai adanya hembusan kabar di antara para karyawan bahwa perusahaan akan melakukan PHK.

“Tidak pernah terbukti sama sekali perusahaan melakukan PHK, memberikan informasi rencana PHK, tidak pernah sama sekali. Nah, hal inilah yang menjadi kabur,” ucap dia.

Selain soal PHK, Radja menambahkan, perusahaan rutin membayar upah dan THR karyawannya. Dengan begitu, adanya isu pihak perusahaan tak membayarkan upah dan THR karyawan tidaklah benar. Adapun terkait dengan pesangon, kata dia, pihak perusahaan memang belum membayarkan sebab masih ada proses hukum yang berlangsung di pengadilan.

“Bagaimana mungkin hak mereka diberikan sementara mereka juga statusnya sedang bermasalah dengan perusahaan di pengadilan,” kata dia.

Radja pun menyebut, dari ribuan karyawan yang sempat ikut menggugat pengadilan, ada sekitar 170 orang yang telah memutuskan untuk berdamai. Di antara mereka bahkan ada yang sudah kembali bekerja di perusahaan.

Kini, kata Radja, pihaknya masih menunggu putusan yang akan dibacakan majelis hakim pada tanggal 5 Oktober mendatang. Diharapkan, tak ada tekanan atau intervensi pada majelis hakim sehingga perkara dapat diputuskan secara adil.

“Kita harus hormati proses hukum yang sedang berjalan di pengadilan, tentunya jangan sampai ada intimidasi dari pihak mana pun sehingga mempengaruhi pelayanan pemerintahan sampai keluarnya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap,” ungkap dia.

Sementara itu, seorang pekerja yang sudah menyatakan berdamai, Lindo Ekalinda mengaku sempat dijanjikan bakal mendapat uang Rp 120 juta oleh Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SPSI) dan diminta menandatangani semacam blanko kosong. Tawaran itu muncul sebelum dirinya memutuskan ikut menggugat ke pengadilan. Dia pun lalu menandatangani blanko itu tanpa mengetahui isi gugatan yang dilayangkan.

“Pertama ikut, itu dijanjiin uang kaya 20 tahun Rp 120 juta dari SPSI tapi kita tidak tahu surat pernyataannya apa gak ngerti,” kata dia yang surah bekerja selama 30 tahun di perusahaan tersebut.

Sebelumnya, sejumlah karyawan dari PT. Masterindo Jaya Abadi menggelar demo di Pengadilan Negeri (PN) Bandung pada Kamis (29/9) terkait PHK secara sepihak yang dilakukan oleh perusahaan dan gugatan yang dilayangkan ke pengadilan. Mereka berharap gugatan yang dilayangkan dapat dikabulkan oleh majelis hakim.

Ketua DPD KSPSI Jabar Roy Jinto mengatakan, total terdapat 1.142 karyawan yang terkena PHK perusahaan. Menurut dia, para karyawan itu kemudian melayangkan gugatan ke pengadilan karena tidak memperoleh uang pesangon dan uang Tunjangan Hari Raya (THR) tahun 2021. Karyawan perusahaan itu diketahui sudah tak bekerja sejak bulan April 2021 lalu.