BANDUNG – Usulan mengenai cukai karbon (CO2) kendaraan bermotor sebagai alternatif sumber pendapatan negara menggema.
Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menyampaikan bahwa potensi cukai karbon jauh lebih besar dibandingkan dengan dampak dari kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1 persen.
Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif KPBB, dalam keterangannya yang disampaikan di Jakarta, Kamis (2/1/2025), mengatakan bahwa potensi pendapatan negara dari cukai karbon kendaraan bermotor bisa mencapai Rp92 triliun per tahun.
Angka ini jauh melampaui proyeksi tambahan pendapatan sebesar Rp67 triliun per tahun dari kenaikan tarif PPN yang direncanakan.
“Potensi cukai ini sebesar Rp92 triliun/tahun (netto), jauh lebih besar ketimbang tambahan 1 persen dari kenaikan PPN yang hanya Rp67 triliun/tahun,” ujar Safrudin seperti dilansir dari laman CNN, Sabtu (4/1/2025)
Safrudin juga menjelaskan bahwa cukai karbon dari kendaraan bermotor ini akan semakin besar jika kebijakan tersebut diperluas untuk mencakup seluruh sektor pembangunan dan industri.
Hal ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendapatan negara.
Jumlah tersebut, lanjutnya, adalah netto, setelah dikurangi insentif fiskal yang diberikan sebagai penghargaan bagi kendaraan dengan emisi karbon rendah, seperti kendaraan berbasis net-zero emission vehicle (NZEV).
Net-ZEV sendiri merujuk pada kendaraan yang menggunakan tenaga penggerak berbasis motor listrik, seperti kendaraan listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV), yang kini menjadi tren global.
Menurut Safrudin, kendaraan BEV memiliki potensi besar bagi Indonesia, mengingat ketersediaan bahan baku yang melimpah, seperti nikel, kobalt, dan bahan langka lainnya yang diperlukan untuk pembuatan baterai.
“BEV sebagai net-ZEV merupakan competitive advantage bagi Indonesia dengan ketersediaan bahan baku yang melimpah untuk komponen BEV, terutama baterai (Ni, Co, rare earth), selain prototipe yang berhasil dikembangkan anak bangsa, berpeluang menempatkan Indonesia sebagai bagian penting dari global supply chain of BEV,” tambahnya.
Selain itu, ia menekankan bahwa efisiensi energi harus menjadi fokus utama guna menjaga ketahanan energi nasional dan mencegah berkurangnya pendapatan negara akibat beban penyediaan energi yang semakin besar, seperti BBM.
Usulan tersebut menyoroti pentingnya kebijakan yang berfokus pada pengurangan emisi karbon sekaligus membuka peluang besar bagi Indonesia untuk mendukung transisi energi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.