BANDUNG — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus melemah dan kini mencetak rekor baru.
Hari ini, Senin 7 April 2025, rupiah tercatat menyentuh angka Rp17.261 per dolar AS, posisi terendah sepanjang sejarah menurut data Refinitiv.
Pantauan dari situs e-Rate USD milik BCA pada pukul 07.10 WIB menunjukkan kurs jual dolar telah menembus Rp16.950, sementara kurs beli berada di angka Rp16.600 — naik Rp60 dari hari sebelumnya.
Data dari Wise juga memperlihatkan angka tukar rupiah berada di Rp16.883 pada pukul 14.35 WIB.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari kombinasi faktor global dan domestik.
Peneliti sekaligus dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Islam Indonesia (UII), Listya Endang Artiani, menyebutkan bahwa penguatan dolar AS akibat kenaikan suku bunga acuan Federal Reserve menjadi pemicu utama gejolak ini.
“Investor global cenderung menarik dana dari pasar negara berkembang seperti Indonesia untuk mencari imbal hasil lebih tinggi di aset berdenominasi Dolar,” ujarnya dilansir dari laman Tempo.co.
Tak hanya itu, kondisi ekonomi nasional seperti neraca perdagangan, cadangan devisa, serta kestabilan politik juga turut menjadi pertimbangan investor. Jika terdapat sinyal instabilitas, maka tekanan terhadap rupiah pun semakin kuat.
“Selain itu, permintaan musiman terhadap dolar, misalnya menjelang Lebaran atau pembayaran utang luar negeri korporasi, juga bisa mendorong volatilitas jangka pendek,” lanjutnya.
Listya menekankan bahwa jika tidak segera diatasi, gejolak nilai tukar rupiah bisa berdampak luas terhadap sektor ekonomi.
Ketidakpastian kurs menyebabkan pelaku usaha kesulitan menentukan harga, investor menjadi ragu menanamkan modal, dan beban utang luar negeri pun meningkat.
“Pelaku usaha kesulitan menetapkan harga, investor menahan diri, dan beban utang luar negeri dalam dolar membengkak,” jelasnya.
Efek domino juga dikhawatirkan bisa memicu inflasi akibat naiknya harga barang impor, memperlebar defisit neraca transaksi berjalan, hingga menurunkan kepercayaan investor terhadap pemerintah.
“Kondisi ini juga bisa memperburuk persepsi publik terhadap kebijakan moneter, terlebih bila tidak ada komunikasi yang baik dari Bank Indonesia atau Kementerian Keuangan,” tegasnya.
Pelemahan rupiah sendiri sebenarnya sudah mulai terlihat sejak awal April.
Pada Jumat, 4 April 2025, mata uang Garuda sempat menyentuh Rp17.006 per dolar AS di pasar non-deliverable forward (NDF).
Penguatan dolar dipicu oleh rilis data ketenagakerjaan AS yang lebih baik dari ekspektasi serta pernyataan dari The Fed yang menunda rencana penurunan suku bunga.
Analis Forex, Ibrahim Assuabi, mengatakan bahwa pasar sempat berharap akan ada pemangkasan suku bunga sebanyak tiga kali tahun ini. Namun harapan itu kini dinilai tidak realistis.
“Kemungkinan besar hanya tinggal mimpi. Ini yang menyebabkan indeks dolar kembali mengalami penguatan signifikan,” kata Ibrahim dalam keterangan resmi pada Ahad, 6 April 2025.
Situasi ini menunjukkan bahwa tantangan ekonomi ke depan tidak ringan.
Stabilitas nilai tukar menjadi PR besar bagi pemerintah dan otoritas moneter untuk segera menenangkan pasar serta mengurangi kepanikan pelaku usaha dan investor.