BANDUNG — Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengusulkan kebijakan baru yang langsung menuai gelombang kritik.
Dalam pernyataannya, Dedi menyampaikan bahwa program Keluarga Berencana (KB) – khususnya metode vasektomi untuk pria – akan dijadikan syarat utama dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Usulan ini disebut sebagai upaya agar penyaluran bantuan lebih merata dan tidak berulang ke keluarga yang sama.
“Jadi seluruh bantuan pemerintah nanti akan diintegrasikan dengan KB. Jangan sampai kesehatannya dijamin, kelahirannya dijamin, tapi negara menjamin keluarga itu-itu juga. Yang dapat beasiswa, yang bantuan melahirkan, perumahan keluarga, bantuan non-tunai keluarga dia, nanti uang negara mikul di satu keluarga,” ujar Dedi di Bandung, Senin, 28 April 2025, dikutip dari Antara.
Seperti dilansir dari laman Tempo.co.id, Dedi juga menyebut akan memberikan insentif sebesar Rp 500 ribu bagi pria yang bersedia menjalani vasektomi.
Ia beralasan bahwa program KB sebaiknya difokuskan ke pria terlebih dahulu. “Kenapa harus laki-laki, karena misalnya nanti perempuannya banyak problem. Misalnya lupa minum pilnya atau lainnya,” katanya.
Namun, wacana tersebut langsung mendapat penolakan dari berbagai pihak, mulai dari tokoh pemerintah pusat, lembaga hak asasi manusia, hingga organisasi keagamaan.
Muhaimin: Aturan Bansos Tak Bisa Dibuat Daerah Sendiri
Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar menegaskan bahwa penyaluran bansos diatur secara nasional, dan tidak bisa ditentukan sepihak oleh pemerintah daerah.
“Aturan enggak ada. Tidak boleh bikin aturan sendiri,” tegasnya di Jakarta, 3 Mei 2025, dikutip dari Antara. Ia menambahkan, “Enggak ada, enggak ada. Enggak ada syarat itu (vasektomi).”
Komnas HAM: Ini Pelanggaran Hak Atas Tubuh
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro turut menanggapi tegas. Ia menyebut wacana ini sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia karena menyangkut otoritas tubuh pribadi.
“Itu juga privasi ya, vasektomi apa yang dilakukan terhadap tubuh itu bagian dari hak asasi. Jadi, sebaiknya tidak dipertukarkan dengan bantuan sosial atau hal-hal lain,” kata Atnike di Kantor Komnas HAM RI, Jakarta, Jumat, 2 Mei 2025.
Menurutnya, menjadikan KB sebagai syarat bansos dapat memunculkan pemaksaan yang tak sesuai prinsip HAM. “Apalagi itu dipertukarkan dengan bantuan sosial. Itu otoritas tubuh ya,” tegas Atnike.
MUI Jabar: Vasektomi Itu Haram
Dari sisi keagamaan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat juga angkat suara.
Ketua MUI Jabar KH Rahmat Syafei menyatakan bahwa vasektomi tergolong haram karena dianggap sebagai tindakan pemandulan permanen.
Namun, ia membuka ruang diskusi jika vasektomi dilakukan demi alasan kesehatan dan tidak bersifat permanen.
“Boleh dilakukan kalau tujuannya tidak menyalahi syariat seperti kesehatan, tidak menyebabkan kemandulan permanen, ada jaminan fungsi reproduksi seperti semula apabila diinginkan, tidak menimbulkan bahaya atau mudharat pada yang bersangkutan,” ujarnya pada Kamis, (1/5/ 2025).
BKKBN: Ikuti Fatwa MUI
Kementerian Kependudukan dan BKKBN menyatakan akan tetap berpedoman pada fatwa MUI tahun 2012 yang mengatur tentang metode kontrasepsi untuk pria, termasuk vasektomi.
“Prinsipnya untuk vasektomi, Kemendukbangga/BKKBN berpedoman pada fatwa MUI tahun 2012,” jelas Wahidin, Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, saat dikonfirmasi pada Jumat, (2/5/2025).
Mensos: Perlu Kajian Mendalam
Sementara itu, Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul juga menyampaikan bahwa gagasan tersebut perlu dikaji secara komprehensif.
Ia menegaskan bahwa bansos adalah bentuk jaminan sosial, bukan alat pengendalian penduduk.
“Kalau itu ditambahkan dengan syarat-syarat di luar rancangan program, harus kita diskusikan. Apalagi kalau kita mengambil keputusan dengan harus mempertimbangkan nilai-nilai agama, nilai-nilai HAM, dan pertimbangan lain,” ujar Gus Ipul, (4/5/2025).
Usulan Dedi Mulyadi memang memantik perdebatan besar, terutama karena menyentuh persoalan sensitif seperti hak atas tubuh, kebebasan memilih, hingga nilai agama.
Di tengah wacana ini, publik pun menunggu kejelasan: apakah ini sekadar wacana, atau akan benar-benar diterapkan?