BANDUNG – Seorang warga di Kota Bandung bernama Kokom Komariyah (58) dilaporkan meninggal dunia di taksi onlie setelah ditolak di dua rumah sakit (RS) pada Kamis (8/7/2021).
Menurut keterangan sang suami, Agus (58), istrinya menghembuskan nafas terakhir di taksi online saat hendak menuju ke RS rujukan.
“Almarhum sakit lambung, dan ada sesak nafas sedikit. Sudah tidak kuat, makanya dengan berbekal surat rujukan dari Puskesmas Cijambe ke rumah sakit besar kita pesan taksi online,” kata Agus saat ditemui infobandungkota.com di kediamannya di Kelurahan Pakemitan, Cinambo, Kota Bandung, Jumat (9/7/2021).
Awalnya sekitar pukul 11.00 WIB, taksi online yang dikemudikan oleh Bani menjemput keluarga Agus di apotek di Jalan AH Nasution.
Saat itu Agus didampingi anak bungsunya mencoba mengantarkan Kokom ke RS Hermina Arcamanik. Namun setibanya di sana, Kokom ditolak lantaran rumah sakit sudah penuh.
Agus pun langsung membawa istrinya ke RS Al Islam. Akan tetapi, Kokom lagi-lagi ditolak karena alasan ruang rawatnya penuh.
“Di Hermina anak saya turun mengurus berkas-berkas dan persyaratan, tapi setengah jam kemudian ada kabar kalau rumah sakit tak bisa menerima pasien lagi karena sudah penuh. Akhirnya kita pergi ke RS Al Islam,” ujar Agus yang sehari-hari berdagang bakso tahu itu.
Setelah itu, Agus mendapatkan kabar dari sanak saudaranya, bila RS Santosa Bandung di Kebonjati masih tersedia ruang rawat.
Namun ketika di perjalanan, Agus dan keluarganya tersekat oleh penutupan jalan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat saat hendak melewati Asia Afrika dari Gatot Subroto.
Terlalu lama di jalan dan tidak menerima penanganan medis dengan cepat, Kokom pun meninggal di dalam taksi online tersebut.
“Tak lama dari situ, akhirnya anak saya bilang kalau ibu sudah tidak bernafas. Kondisi saya sangat syok ketika itu, karena sepanjang jalan khawatir dengan kondisi istri saya,” kata Agus.
Akhirnya Agus dan keluarganya diantar pulang oleh pengemudi taksi online ke Pakemitan.
“Awalnya tidak ada yang datang karena khawatir covid. Tapi setelah saya tunjukkan surat rujukannya akhirnya RT, RW dan pak ustaz datang ke sini untuk mengurusi almarhumah,” ujar Agus.
Jenazah Kokom akhirnya dibawa ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Nagrog di Pasirjati, Ujungberung selepas azan Ashar.
“Kami sudah merelakan kepergian almarhum, karena yang bernyawa pasti akan meninggal. Memang sudah waktunya Allah memanggil istri saya,” katanya.
“Tapi ini juga bisa jadi perhatian dari pemerintah, agar kejadian yang menimpa istri saya tidak terulang kembali,” jelas Agus.
Sementara itu, Bani yang menjadi driver taksi online, menjembut Kokom beserta suami dan anaknya di sebuah klinik di Cijambe, Ujungberung.
“Saya kan driver Go-Car, dapat orderan saya lagi ON jam 11 dapat orderan dari klinik di Jalan Cijambe. Tujuannya ke RS Hermina, itu pas saya jemput itu ibu-ibu sudah dapat rujukan, kemudian setelah dapat rujukan dibawa ke RS Hermina bertiga. Bapaknya, putranya sama si ibu,” ujar Bani
Bani mengatakan, setelah menunggu kurang lebih setengah jam di RS Hermina, ibu yang tampak telah kritis tersebut tetap tak bisa dilayani. Alasannya, karena okupansi dari rumah sakit yang penuh.
“Nah dari situ, terus saya bawa ke rumah sakit menunggu setengah jam penuh di sana setelah surat rujukannya dikasihkan itu, penuh enggak bisa masuk. Terus kemudian pihak keluarga minta offline, jujur saja, keluarganya minta dibawa ke RS Al Islam,” kata Bani.
Ia kemudian memacu kendaraannya ke RS Al Islam di Jl Soekarno Hatta. Rupanya, si ibu tak bisa segera ditangani karena lagi-lagi okupansi rumah sakit yang penuh.
“Ternyata di RS Al Islam penuh juga tidak bisa masuk. Kemudian koordinasi dengan keluarganya yang lain mau dibawa ke RS Santosa Bandung,” katanya.
Dengan penuh rasa khawatir, Bani kemudian mengarahkan kendaraannya ke arah Jl Gatot Subroto menuju Jl Kebonjati. “Kalau Gatsu tidak ada tutup, pas kita mau ke Santosa, Jl Asia Afrika ditutup,” ujarnya.
Bani pun harus mencari rute lain untuk menuju rumah sakit. Ia melihat kondisi si ibu sudah sangat lemas. “Memang sudah lemas, tapi masih bisa senyum. Yang paling bisa saya inget itu ‘a nyungkeun bantosan sing sabar’ (kak minta tolong, sabar), sempat ada komunikasi,” katanya.
Sampai akhirnya si ibu menghembuskan nafas terakhirnya di dalam mobil. “Saya berhenti sejenak, karena si ibu kata keluarganya seperti tidur, pas dicek sudah tak bernafas. Keluarganya histeris,” ucapnya.
Setelah itu, Bani pun segera mengantarkan keluarga tersebut ke Cijambe. Perjalanan itu, katanya, diiringi isak tangis keluarga. “Saya juga panik. Saya ambil KTP, saya ajak pulang. Ini kejadian yang baru pertama kali saya hadapi, mudah-mudahan ibunya khusnul khotimah,” pungkas Bani.