BANDUNG – Sebanyak 64 dosen dan staf Universitas Bandung telah mengalami keterlambatan pembayaran gaji selama tujuh bulan terakhir.
Mereka belum menerima hak upah dari Yayasan Bina Administrasi (YBA), pengelola universitas tersebut.
Selain gaji, dana operasional kampus selama periode tersebut juga dilaporkan tidak turun.
Riki Hardiansyah, staf Operator Akademik Universitas Bandung, mengungkapkan bahwa meskipun mereka belum dibayar, operasional kampus tetap berjalan berkat dana yang dihimpun dari kantong pribadi para tenaga pengajar dan staf.
“Kami itu terakhir menerima gaji bulan Juni lalu. Berarti sekarang sudah jalan 7 bulan,” ujar Riki, pada Kamis (2/1/2024).
Untuk memastikan kegiatan di kampus tetap berjalan, kata Riki, mereka terpaksa patungan untuk biaya operasional, seperti membayar listrik.
“Jadi untuk operasional itu, dana pribadi. Patungan gitu. Kemarin juga buat bayar listrik, bayar ya patungan saja,” tambahnya.
Meski begitu, Riki dan rekan-rekannya berusaha bertahan dengan rasa tanggung jawab terhadap mahasiswa.
“Kami enggak mau tiba-tiba sekarang main bubarin aja, kasihan mahasiswa. Masa mau diabaikan gitu kan,” ujarnya.
Banyak dosen yang tetap bertahan mengajar meski tanpa upah, meskipun ada sebagian yang memilih mogok akibat ketidakpastian pembayaran gaji.
Penyebab utama dari masalah keuangan yang dihadapi Universitas Bandung ini adalah kasus korupsi dana Program Indonesia Pintar (PIP), yang melibatkan mantan Rektor Universitas Bandung, berinisial BR.
Pada 26 November 2024, Kejaksaan Negeri Bandung menetapkan BR sebagai tersangka terkait penyelewengan dana PIP yang seharusnya digunakan untuk kampus Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STAI) Bandung, yang pada akhirnya bergabung dengan Poltekkes YBA dan menjadi Universitas Bandung pada 2023.
Akibat korupsi ini, Fakultas Administrasi dan Bisnis, yang dulunya merupakan bagian dari STAI Bandung, ditutup pada Mei 2024.
Sekitar 2.000 mahasiswa terpaksa dipindahkan ke kampus lain, dan aliran dana PIP pun dihentikan.
“Di sana juga memang kebanyakan mahasiswa terdaftar penerima PIP,” jelas Riki seperti dilansir dari laman Kumparan.com.
Ketua Umum Yayasan Bina Administrasi (YBA), Uce Karna Suganda, mengonfirmasi bahwa masalah keterlambatan gaji ini terkait dengan penutupan Fakultas Administrasi Bisnis.
Penutupan tersebut menyebabkan hilangnya pendapatan dari sekitar 2.000 mahasiswa yang sebelumnya terdaftar di fakultas tersebut.
“Bayangkan 2.000 mahasiswa tidak ada, pendapatan dari mahasiswa tidak ada. Ditutup 2023, mau bayar dari mana?” ujar Uce.
Dia juga mengakui bahwa jumlah mahasiswa di Fakultas Kesehatan Teknik kini hanya tersisa sekitar 300 orang, yang mana iuran semester mereka tidak cukup untuk menutupi biaya operasional dan gaji staf.
Terkait hal ini, dosen dan staf Universitas Bandung telah melakukan audiensi dengan pihak yayasan. Namun, hingga kini belum ada solusi pasti mengenai masalah ini.
Riki mengatakan, mereka berencana menggelar audiensi lanjutan pada 6 Januari 2025, yang juga akan melibatkan orang tua mahasiswa, untuk membahas kelanjutan kegiatan akademik dan permasalahan gaji.
“Kita itu inginnya ya ada kejelasan saja soal semua masalah ini. Kita inginnya itu ya sudah kalau ada Yayasan tidak sanggup, ya alih kelola saja,” tuturnya.
Di sisi lain, pihak Yayasan Bina Administrasi (YBA) masih berusaha mengatasi masalah keuangan tersebut, salah satunya dengan merencanakan penjualan aset, termasuk bangunan Kampus 1 di Jalan Cipagalo Girang, sebagai langkah untuk menutupi kekurangan dana.
“Tapi belum ada yang nawar. Kalau itu laku sudah beres semuanya,” ujar Uce.
Seiring berjalannya waktu, seluruh pihak berharap agar masalah ini segera menemukan titik terang demi kelangsungan pendidikan dan kesejahteraan dosen serta staf di Universitas Bandung.