BANDUNG – Perbuatan asusila lagi-lagi terjadi di ranah pendidikan. Bahkan kembali terjadi di Jawa Barat.
Terbaru, Pimpinan sekaligus pengurus pondok pesantren di wilayah Kalijati, Subang, Jawa Barat memperkosa salah satu santriwatinya yang di bawah umur.
Kasus asusila ini diketahui setelah korban menulis pengalaman mengerikan tersebut di sebuah kertas yang ditemukan sendiri oleh sang ibunda.
Sontak orangtua korban langsung melapor ke pihak kepolisian atas kasus pemerkosaan terhadap anaknya.
Kapolres Subang Ajun Komisaris Sumarni membenarkan kasus asusila ini.
Sumarni mengungkapkan bahwa pelaku berinisial DAN (45 tahun) juga bekerja sebagai staf di Kementerian Agama Kabupaten Subang.
“Pelaku kami amankan di rumahnya tanpa ada perlawanan dan mengakui perbuatannya,” ujar Sumarni, Kamis (23/6/2022).
Korban yang masih berusia 15 tahun itu mengaku telah dipaksa untuk bersetubuh sebanyak 10 kali dalam satu tahun terakhir.
“(Tulisan korban) salah satunya berisi permohonan maaf korban pada orangtuanya, karena sudah tidak suci lagi. Dalam surat itu juga korban menuliskan jika guru yang seharusnya melindungi korban malah merenggut kesuciannya,” beber Sumarni.
Sumarni membeberkan bahwa pelaku memanfaatkan statusnya sebagai guru dari korban untuk melancarkan aksinya.
“Anggap saja ini suatu proses pelajaran, terus diniatkan agar dapat ridho dari guru. Itu merupakan kalimat yang disampaikan oleh pelaku kepada korban,” jelas Sumarni yang mengutip pengakuan dari korban.
Dengan adanya kasus ini, Kapolres Subang itu mengimbau agar para orang tua lebih mengawasi anaknya.
“Hal ini tentu harus menjadi pelajaran untuk masyarakat khususnya orangtua agar lebih menjaga anaknya. Selain itu, menjadi evaluasi untuk dunia pendidikan,” imbau Sumarni.
Atas perbuatannya, pelaku diancam pasal 41 ayat 1 junto pasal 26 d atau pasal 41 ayat 2, atau pasal 81 ayat 3, atau pasal 82 ayat 1 junto pasal 26 e, atau ayat 82 ayat 2 Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 23 tahun 2002, tentang Perlindungan Anak junto Undang-undang 17 tahun 2016.
Adapun hukuman yang diberikan minimal lima tahun dan maksimal 15 tahun penjara serta denda Rp5 Miliar.