BANDUNG – Fitnah, dergama, atau defamasi merupakan komunikasi kepada satu orang atau lebih yang memberikan stigma negatif atas suatu peristiwa yang dilakukan oleh pihak lain berdasarkan atas fakta palsu yang dapat memengaruhi penghormatan, wibawa, atau reputasi seseorang. Perilaku tak terpuji ini bisa merugikan dan bisa mencemarkan nama baik orang lain.
Namun kini, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru disahkan mengatur tentang ancaman pidana pencemaran kehormatan serta fitnah.
Ancaman pidana terakait pencemaran kehormatan dan fitnah tercantum dalam Pasal 433 hingga 434.
Pasal 433 Ayat (1):
“Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp 10.000.000).”
Adapun Pasal 433 Ayat (2) menyebutkan, jika pelaku pencemaran kehormatan melakukannya melalui tulisan atau gambar yang dipertunjukkan atau ditempelkan di tempat umum, maka terancam penjara paling lama 1 tahun 6 bulan, serta pidana denda paling banyak kategori III (Rp 50.000.000).
Kendati dekian, dalam Pasal 433 ayat (3) disebutkan bahwa perbuatan pencemaran kehormatan seseorang seperti diatur dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak bisa dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.
Bahkan dalam RKUHP yang baru disahkan pun mengatur tentang ancaman pidana fitnah. Hal itu diatur dalam Pasal 434.
Bunyi isi Pasal 434 ayat (1) RKUHP tentang tindak pidana fitnah:
“Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 433 diberi kesempatan membuktikan kebenaran hal yang dituduhkan tetapi tidak dapat membuktikannya, dan tuduhan tersebut bertentangan dengan yang diketahuinya, dipidana karena fitnah, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp 200.000.000).”
Sementara berdasarkan Pasal 434 Ayat (2), pembuktian terhadap tuduhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam 2 hal, yaitu:
- hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran tuduhan tersebut guna mempertimbangkan keterangan terdakwa bahwa terdakwa melakukan perbuatan tersebut untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri; atau
- pejabat dituduh melakukan suatu hal dalam menjalankan tugas jabatannya.
“Pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilakukan jika hal yang dituduhkan tersebut hanya dapat dituntut atas pengaduan, sedangkan pengaduan tidak diajukan,” demikian bunyi Pasal 434 ayat (3) KUHP.