BANDUNG — Fenomena menurunnya angka pernikahan di kalangan pemuda semakin terlihat dalam beberapa tahun terakhir.
Data menunjukkan bahwa semakin banyak pemuda berusia 16 hingga 30 tahun yang memilih untuk menunda pernikahan, dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial dan ekonomi.
Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 2009, pemuda didefinisikan sebagai warga negara Indonesia yang berusia 16-30 tahun.
Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024, jumlah pemuda di Indonesia mencapai sekitar 64,22 juta jiwa, atau sekitar seperlima dari total populasi.
Seperti dilansir dari laman Cnbcindonesia.com pada Selasa, (07/1/2025), Dari jumlah tersebut, komposisi antara laki-laki dan perempuan memiliki selisih kecil, dengan rasio jenis kelamin sebesar 102,44.
Pergeseran Status Perkawinan Pemuda
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan Statistik Pemuda Indonesia 2024 mencatat bahwa sekitar 69,75% pemuda masih berstatus belum kawin, sementara yang sudah menikah hanya 29,10%, dan 1,15% lainnya berstatus cerai hidup atau meninggal.
Data ini menunjukkan bahwa tren pemuda yang belum menikah terus mengalami kenaikan dibandingkan dengan satu dekade lalu.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, perbandingan antara pemuda yang menikah dan yang belum menikah semakin menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Pada 2014, jumlah pemuda yang belum menikah tercatat sebesar 54,1%, sementara yang menikah mencapai 44,45%. Namun, pada 2024, persentase pemuda yang belum menikah melonjak menjadi 69,75%, sedangkan yang menikah turun drastis menjadi 29,1%.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penurunan Pernikahan
Salah satu faktor utama yang menyebabkan penurunan angka pernikahan di kalangan pemuda adalah perubahan regulasi terkait batas usia minimal pernikahan.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang mengubah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa batas usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Peraturan ini turut berkontribusi dalam menunda usia pernikahan di Indonesia.
Selain faktor regulasi, meningkatnya akses terhadap pendidikan dan lapangan pekerjaan juga berpengaruh terhadap keputusan pemuda untuk menunda pernikahan.
Semakin banyak pemuda yang fokus mengejar pendidikan tinggi serta membangun karier sebelum mempertimbangkan untuk menikah.
Tekanan sosial terhadap pernikahan di usia muda juga mengalami perubahan.
Jika sebelumnya menikah di usia muda dianggap sebagai hal yang wajar atau bahkan diharapkan, kini semakin banyak individu yang merasa tidak lagi terbebani oleh norma sosial tersebut.
Faktor Ekonomi Menjadi Tantangan Utama
Realita ekonomi yang semakin berat juga menjadi salah satu alasan utama mengapa banyak pemuda memilih untuk menunda pernikahan.
Kenaikan biaya hidup membuat standar hidup layak semakin sulit dicapai. BPS melaporkan bahwa pada 2024, standar hidup layak di Indonesia meningkat menjadi Rp12,34 juta per tahun, atau sekitar Rp1,02 juta per bulan.
Angka ini mengalami kenaikan sebesar 3,71% dibandingkan tahun sebelumnya.
Berdasarkan wilayah, Provinsi DKI Jakarta memiliki pengeluaran riil per kapita tertinggi, yaitu Rp19,95 juta per tahun atau sekitar Rp1,66 juta per bulan.
Sebaliknya, Provinsi Papua Pegunungan memiliki pengeluaran riil per kapita terendah, yaitu Rp5,71 juta per tahun atau sekitar Rp475 ribu per bulan.
Dengan meningkatnya biaya hidup, pemuda semakin mempertimbangkan kesiapan finansial sebelum melangkah ke jenjang pernikahan.
Faktor ekonomi ini turut memperkuat tren penurunan angka pernikahan di Indonesia.
Secara keseluruhan, tren pernikahan di kalangan pemuda mengalami pergeseran yang signifikan.
Faktor regulasi, akses pendidikan dan pekerjaan, perubahan norma sosial, serta tekanan ekonomi menjadi alasan utama di balik fenomena ini.
Ke depan, peran pemerintah dan masyarakat dalam menciptakan kondisi yang mendukung kesejahteraan pemuda akan menjadi faktor kunci dalam menentukan arah tren pernikahan di Indonesia.