BANDUNG – Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Perambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen mulai 1 April 2022.
Namun terbaru, Ditjen Pajak (DJP) bersama instansi pemerintah terkait belum bisa memutuskan akankan PPN naik pada April mendatang.
Sebab, DJP akan memperhatikan perkembangan harga-harga terkini sebelum memberlakukan tarif PPN sebesar 11% pada 1 April 2022.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Neilmaldrin Noor mengaku pihaknya masih harus memperhatikan kondisi terkini seperti inflasi dan kenaikan harga,
“Tim sedang melakukan pembahasan, aturan turunan dari undang-undangnya (UU HPP) juga sedang dalam pembahasan. Jadi kami belum tahu [naik tidaknya tarif PPN],” tegasnya, Selasa (8/3/2022), dilansir dari DDTC.
Ia pun memastikan DJP terus memperhatikan perkembangan dan situasi terkini sembari menunggu kajian dari tim perumus aturan dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.
Pasalnya, secara regulasi UU HPP memang mengamanatkan tarif PPN naik menjadi 11% pada 1 April 2022. Tetapi tarif terbaru tersebut bakal diimplementasikan sesuai dengan situasi terkini.
“Jadi nanti yang jelas informasinya tim inti sedang melakukan pengawasan untuk menyiapkan aturan turunannya, bagaimana nanti pelaksanaannya, mungkin di dalamnya akan ada analisa,” jelas Neilmaldrin.
Neilmaldrin menjelaskan bahwa pemerintah masih menyusun dua peraturan pemerintah (PP) yang merupakan aturan teknis terkait dengan ketentuan PPN pada UU HPP.
Melalui UU HPP, ada beberapa kebijakan baru yang disetujui pemerintah dan DPR. Pertama, yakni ketentuan pengecualian PPN yang selama ini tertuang pada Pasal 4A UU PPN.
Barang dan jasa yang sebelumnya dikecualikan dari PPN seperti bahan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan bakal menjadi barang kena pajak dan jasa kena pajak. Tetapi barang-barang tersebut bakal mendapatkan fasilitas pembebasan atau tidak dipungut.
Kebijakan kedua yakni tarif PPN diputuskan naik dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022 dan naik kembali menjadi 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.
Serta yang ketiga adalah PPN final dengan tarif sebesar 1%, 2%, atau 3% akan dikenakan atas jenis barang dan jasa tertentu atau atas sektor usaha tertentu.
Diwartakan sebelumnya, Direktur Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan, kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen merupakan jalan tengah pemerintah untuk menaikan pendapatan negara di tengah situasi pandemi Covid-19.
Budi menyebut bahwa kebijakan ini juga dinilai sebagai bagian dari strategi pemerintah untuk mengoptimalkan pendapatan negara akibat terus merosotnya rasio pajak.
“Kebijakan penyesuaian tarif PPN menjadi 11 persen ini sudah win-win solution, karena dari 10 persen menjadi 11 persen diharapkan kenaikannya tidak terlalu signifikan. Di sisi lain untuk mengandalkan Pajak Penghasilan (PPh) saat ini juga sudah sulit,” jelas Prianto Budi, seperti dilansir dari Kompas.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan, pada 2012 rasio pajak nasional masih sebesar 14 persen. Tetapi angka tersebut kian merosot sampai tahun lalu.
Bahkan sejak 2019, rasio pajak Indonesia selalu berada di bawah 10 persen yaitu sebesar 9,76 persen.
Kemudian pada 2020 rasio pajak sebesar 8,33 persen, dan tahun 2021 lalu mulai mengalami kenaikan kembali menjadi 9,11 persen.
Apalagi, laju pesat ekonomi digital saat ini cukup memengaruhi kebijakan pemerintah memilih intensifikasi PPN.