BANDUNG – Suasana Konferensi Mineral Kritis Indonesia 2025 di Jakarta, Rabu (4/6/2025), mendadak berbeda ketika aktivis Greenpeace Indonesia menggelar aksi damai.
Mereka membentangkan banner bertuliskan “Nickel Mines Destroy Lives” saat Wakil Menteri Luar Negeri Arief Havas Oegroseno memberikan sambutan.
Aksi ini turut melibatkan empat anak muda Papua dari Raja Ampat.
Mereka ingin menyuarakan keresahan atas dampak tambang dan hilirisasi nikel yang menurut mereka menghancurkan lingkungan serta kehidupan masyarakat lokal.
Tak hanya di ruang konferensi, spanduk bertuliskan “What’s the True Cost of Your Nickel?”, “Nickel Mines Destroy Lives”, dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining” juga terpampang di area pameran luar, di antara booth-booth industri dan peserta konferensi.
“Saat pemerintah dan oligarki tambang membahas bagaimana mengembangkan industri nikel dalam konferensi ini, masyarakat dan Bumi kita sudah membayar harga mahal,” tegas Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, dikutip dari laman Greenpeace.org.
Iqbal menambahkan, industri nikel yang tengah naik daun karena kebutuhan mobil listrik justru membawa kerusakan di banyak wilayah.
Hutan dibabat, sungai tercemar, dan udara kotor akibat penggunaan PLTU captive yang masih jadi andalan industri pemrosesan nikel. Kini, Raja Ampat pun ikut terancam.
Greenpeace menyebut, penelusuran mereka tahun lalu menemukan aktivitas pertambangan di beberapa pulau kecil Raja Ampat seperti Gag, Kawe, dan Manuran yang seharusnya dilindungi oleh UU No. 1 Tahun 2014 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Eksploitasi di kawasan ini disebut telah menghilangkan lebih dari 500 hektare tutupan hutan alami dan menyebabkan sedimentasi pesisir yang merusak terumbu karang.
Pulau Batang Pele dan Manyaifun yang hanya berjarak 30 km dari ikon wisata Piaynemo juga disebut-sebut sebagai lokasi tambang baru yang mengancam kehidupan masyarakat.
“Raja Ampat sedang dalam bahaya karena kehadiran tambang nikel di beberapa pulau, termasuk di kampung saya di Manyaifun dan Pulau Batang Pele,” ungkap Ronisel Mambrasar dari Aliansi Jaga Alam Raja Ampat.
“Tambang nikel mengubah kehidupan kami yang sebelumnya harmonis menjadi berkonflik.” tambahnya.
Dikenal sebagai “surga terakhir di Bumi”, Raja Ampat adalah rumah bagi 75 persen spesies terumbu karang dunia dan lebih dari 2.500 jenis ikan.
Kawasan ini bahkan telah ditetapkan sebagai Global Geopark oleh UNESCO.
Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah meninjau ulang arah kebijakan hilirisasi nikel.
Menurut mereka, narasi transisi energi yang adil tak seharusnya dibayar dengan rusaknya ekosistem dan hilangnya hak-hak masyarakat adat.